Manusia diterkam harimau di Pulau Sumatera Indonesia telah terjadi pada tahun 2019, setidaknya si raja hutan ini telah beraksi 4 kali, yaitu pada bulan-bulan:
-
Januari
2019: harimau menerkam buruh di Riau,
-
Maret
2019: harimau menerkam warga di hutan yang jauh dari pemukiman di Riau,
-
Agustus
2019: harimau menerkam warga yang sedang mandi di sungai dekat hutan di Riau; dan
-
November
2019: seorang petani kopi meninggal diterkam harimau di Lahat Sumatera Selatan;
Nampaknya “konflik”
antara manusia dan satwa liar belum berhenti. Konflik antara manusia dan
harimau ini terjadi di berbagai belahan dunia.
Kaji ulang oleh
Torres, D.F, et.al (2018) terhadap 473 artikel ilmiah periode 2008 - 2017 dengan
subyek konflik antara manusia dan satwa liar darat di
99 negara di dunia, telah mencatat banyaknya kejadian konflik yang
berakibat korban (manusia) meninggal dunia dan luka-luka.
Korban konflik yang terbanyak adalah di Bangladesh dan berturut-turut lima besar adalah: India, Australia, Indonesia dan Mozambik.
Sumber: Torres D.F, et.al, 2018 (diolah)
Konflik manusia dan satwa
liar
Kaji ulang
Torres dan kawan-kawan tersebut menyatakan bahwa 262 jenis satwa vertebrata
yang termasuk di dalam 56 famili satwa liar daratan menjadi bagian dari konflik
ini (Torres, D.F, etal, 2018).
Dari 262
jenis satwa liar ini termasuk di dalamnya 53 jenis yang the terancam punah,
terbanyak adalah jenis hewan menyusui (mamalia) dan burung (aves).
Adapun dari
keluarga mamalia, termasuk famili Felidae
(kucing, singa dan harimau); Canidae
(serigala, coyote, rubah, dll) dan Ursidae
(keluarga beruang). Bahkan tidak saja konflik antara manusia dan satwa pemakan
daging, tetapi tercatat pula konflik antara manusia dan satwa liar dari
keluarga Elephantidae (gajah) dan Cercopithecidae (baboon, dll).
Penyebab konflik
Konflik
antara manusia dan satwa liar umunya terjadi karena kegiatan manusia berdampak negatif
bagi kebutuhan hidup satwa liar, sebaliknya kebutuhan hidup satwa liar
berdampak negatif terhadap tujuan kegiatan manusia.
Ketika
satwa-satwa liar itu butuh makanan, mereka datang ke lahan-lahan pertanian atau
kebun-kebun milik masyarakat dan memakan tanaman di ladang-ladang pertanian yang
ada. Sebaliknya, contoh kegiatan manusia yang berdampak bagi satwa
liar adalah menebang pohon-pohon atau membuka hutan sehingga mengurangi ruang
hidup dan pakan bagi satwa liar yang ada.
Bagi manusia adanya gangguan terhadap lahan pertanian atau
perkebunan, seringkali mereka
tanggapi
dengan cara mengancam atau membasmi satwa-satwa individu penggangu.
Aktivitas satwa liar yang
merugikan manusia
Kaji ulang atas dokumen konflik manusia dan
satwa liar 10 tahun terakhir oleh Torres dan kawan-kawannya (2018) menemukan
bukti bahwa aktivitas satwa liar yang menyebabkan kerugian manusia,
berturut-turut adalah : merusak tanaman
pangan; memangsa hewan ternak dan menyerang manusia, lihat gambar di bawah ini.
Sumber: Torres D.F, et.al, 2018 (diolah)
Satwa liar
ini menjadi ancaman bagi manusia lebih karena kebutuhan makan atau mangsa sehingga
mereka harus keluar dari ruang hidupnya atau hutan dimana mereka tinggal dan
masuk ke pemukiman dan ladang-ladang pertanian. Salah satu sebab mereka keluar
dari habitatnya adalah makin rusaknya hutan dan berkurangnya makanan alami
mereka.
Tiga kondisi yang mendorong konflik manusia
dan harimau
Beberapa penelitian
menyimpulkan, meskipun masih dimungkinkan penyebab lain akibat dari terjadinya
konflik manusia dan harimau di Indonesia. Terdapat 3 (tiga) kemungkinan kondisi
yang mendorong terjadinya konflik, sebagai berikut:
Pertama,
bahwa harimau yang dikenal memiliki ruang jelajah (home range) yang luas
menerima dampak dari batas suatu hutan yang dibuat manusia secara ketat, bisa
berupa batas alami sungai yang lebar dan panjang, contoh di Taman Nasional Way
Kambas Lampung, sehingga satwa liar ini tidak mampu menjelajah jauh
meninggalkan hutannya. Selain itu aktivitas manusia dibatasi untuk masuk ke
dalam hutan. Pakan atau mangsa mereka cukup melimpah di dalam hutan sehingga
harimau enggan untuk meninggalkan tempat hidupnya di hutan. Konflik antara
manusia dan harimau paling sedikit terjadi dalam kondisi seperti ini.
Kedua, Di
satu sisi, manusia masih dibolehkan untuk memanfaatkan sumberdaya hutan. Namun di sisi lain hutan tempat manusia
beraktivitas ini adalah habitat harimau. Populasinya cukup terjaga, satwa ini berkembang biak secara wajar. Pakan
atau mangsanya cukup tersedia. Biasanya hutan ini adalah hutan-hutan lindung, yang pengawasannya
tidak ketat. Kondisi seperti ini
menjadikan konflik antara manusia dan harimau menjadi lebih tinggi peluangnya dibanding
skenario yang pertama tadi.
Ketiga,
perkampungan warga masyarakat yang terisolir dikelilingi hutan tempat hidup
(habitat) harimau yang luas. Upaya untuk membuka kawasan hutan guna membangun
jalan, sarana-prasarana desa atau membuka perkebunan di habitat harimau ini
menjadikan peluang pertemuan antara manusia dan harimau makin besar. Dalam
kondisi seperti ini, kejadian masuknya harimau ke ladang-ladang dan pemukiman
warga masyarakat atau serangan harimau kepada warga setempat akan sering
terjadi.
Konflik antara manusia dan
harimau di masa depan.
Saat ini
ketika hutan mulai ditebangi habis dan perburuan untuk memperdagangkan bagian
tubuh satwa liar, seperti kulit dan
taring harimau makin marak, tak pelak populasi harimau Sumatera akan makin berkurang
di masa depan. Pada akhirya berdampak pula dengan makin berkurangnya konflik antara
manusia dan harimau.
Reference:
1. Nyhus, P.J and Tilson, R. (2004).
Characterizing human-tiger conflict in Sumatra, Indonesia: Implications for
conservation. Oryx Vol 38 No.1, Januari 2004.
2. Torres, D.F, et.al (2018). Conflict
Between Humans and Terrestrial Vertebrates: A Global Review. Tropical Conservation Science Volume
II : 1 – 15. SAGE publishing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar