Post Top Ad

Your Ad Spot

Selasa, 14 Januari 2020

Sistem Iklim, Emisi dan Hutan Indonesia


Pepohonan atau hutan hidup menyerap CO2 dari atmosfer. Kemudian, sebagian besar CO2 yang diserapnya disimpan di dalam tubuh-/batang-nya hingga dapat mencapai puluhan tahun.  
Pohon-pohon ini baru melepaskan CO2 kembali ke atmosfer setelah mati dan terdekomposisi di tanah hutan atau terbakar.  

Produk-produk dari kayu juga menyimpan karbon dalam waktu lama, dan sama seperti pohon/hutan juga, jika terbakar akan melepaskan CO2. 

Singkatnya tentu kita sepakat, bahwa pepohonan atau hutan nyata-nyata menyerap CO2, namun ada saatnya mereka akan melepaskan CO2 kembali ke atmosfer.

Definisi tentang iklim dan kaitannya dengan hutan

Konvensi tentang iklim United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC),[1] telah menyepakati definisi-definisi iklim, antara lain:


(Artikel I] Sistem Iklim adalah “keseluruhan dari atmosfer, hidrosfer, biosfer dan geosfer serta interaksi diantara sub-sistem ini”. Kemudian, ada istilah Reservoir yaitu “ suatu komponen dari sistem iklim dimana gas-gas rumah kaca atau setiap gas penyusun dari senyawa gas rumah kaca itu disimpan”.

Merujuk pada definisi tersebut, jelas hutan dan tumbuhan lainnya adalah reservoir atau penampung CO2, lebih luas lagi adalah bagian dari Sistem iklim (biosfer).


Masih [Artikel I] yang mendefinisikan Source (sumber) yaitu “proses-proses atau kegiatan yang berkontribusi bagi pelepasan Gas Rumah Kaca (GRK) ke atmosfer", dan sebaliknya ada Sink (penyimpan atau penyerap) yaitu "proses-proses, kegiatan atau mekanisme yang mengurangi atau menghilangkan GRK".

Dan, terlepasnya gas GRK ke atmosfer di suatu wilayah pada periode waktu tertentu..inilah yang disebut Emisi GRK.

Jika mengikuti batasan-batasan tersebuti, hutan dapat digolongkan sebagai “Source” atau sebaliknya “Sink”, bahkan bisa dua-duanya sekaligus.

Menurut uraian dan definisi diatas, seharusnya pepohonan atau hutan itu berbeda dengan pabrik atau kendaraan bermotor yang digolongkan “source” emisi CO2.


3. Pada Artikel 3 para pihak bersepakat bahwa kebijakan-kebijakan dan upaya-upaya untuk menanggulangi perubahan iklim hendaknya menyeluruh, mencakup seluruh source, sink dan reservoir dari gas-gas rumah kaca… dan berkompromi dengan seluruh sektor ekonomi”  

Nah, definisi ini terkait dengan hutan sekaligus memperjelas bahwa apapun kebijakan dan upaya mitigasi perubahan iklim tidak hanya berurusan dengan hutannya saja (source, sink dan reservoir) tetapi juga berurusan dengan pengelolaan hutannya.

Praktek pengelolaan hutan di Indonesia

Pengelolaan hutan di Indonesia sarat dengan urusan penebangan illegal, alih guna lahan (deforestasi) dan kebakaran hutan.  Barangkali hal-hal ini yang menjadi sebab kenapa sektor kehutanan oleh UNFCCC dimasukkan dalam sektor Land Use, Land-Use Change and Forestry (LULUCF).

Berikut ini contoh praktek pengelolaan hutan terkait dengan emisi, al:

1. Pengusaha konsesi hutan alam (HPH) yang menebangi pohon-pohon jenis komersial, dalam hal ini menjadikan hutan alam sebagai "source" emisi GRK, namun ketika pengusaha memulihkannya dengan menanam pohon-pohon baru dan membiarkan tegakan tinggalnya tumbuh lebih dari 35 tahun, ini menjadikan hutan sebagai “sink” emisi GRK;


2. Ketika lahan-lahan hutan dialih-gunakan menjadi lahan perkebunan dan orang menebangi pohon kemudian membakarnya dalam penyiapan lahan maka terjadilah “source” emisi GRK, akibat dari kebakaran biomasa, kayu mati dan sisa tegakan hutan;


3. Jika perusahan kebun kayu (hutan tanaman industri) membuka lahan gambut untuk tanaman akasia dan eucalyptus sebagai bahan baku pulp kertas, jika lahan gambut yang terbuka kemudian terbakar, maka kejadian yang terakhir ini sebagai “source” GRK.


Faktanya, kebakaran lahan gambut menjadi penyumbang terbesar emisi GRK dari sektor kehutanan Indonesia, selain penebangan illegal, dan konversi lahan hutan (deforestasi), lihat gambar berikut. .


Sumber: Carbonbrief


Inilah yang menjadikan sektor kehutanan (lahan gambut, hutan dan guna lahan) sebagai penyebab emisi terbesar.
 
Dari sisi mitigasi, pemerintah Indonesia sedang berupaya menurunkan emisi GRK sebesar 29 persen terhadap skenario baseline business as usual pada tahun 2030, dan 41 persen dengan bantuan internasional, melalui kebijakan pengelolaan hutan Indonesia, sbb:


1. Moratorium pemberian ijin baru dalam pengusahaan hutan
2. Restorasi Gambut
3. Rehabilitasi Hutan yang terdegradasi, dan
4. Manfaat Perhutanan Sosial pada lahan-lahan terdegradasi.

Nah, semua aktivitas deforestasi, degradasi, konservasi dan pengelolaan hutan berkelanjutan, dan upaya mitigasi lain tersebut dipertimbangkan dalam penghitungan (pengurangan) emisi GRK sektor kehutanan.


Apakah emisi sektor kehutanan bisa dihilangkan atau menjadi nol ?
Asumsinya penyebab emisi GRK yaitu  penebangan illegal, alih guna lahan (deforestasi) dan kebakaran hutan. dihilangkan atau dicegah sama-sekali agar tidak terjadi.  Apakah emisi sektor kehutanan bisa menjadi nol atau seimbang antara "source" dan "sink" ? 

Jawabannya, tidak.  Upaya itu hanya mengurangi emisi.


Sepanjang ada pengusahaan hutan (business as usual), yang dikelola secara berkelanjutan, misal dengan tebang pilih, memperpanjang rotasi tebangan berikutnya dan menanaminya kembali, inipun hanya mengurangi emisi., belum sampai nol.


Dan, menurut protokol intenasional tadi boleh saja kita kompromi dengan tetap mengusahakan hutan-hutan kita. Kecuali, kita tutup perusahaan-perusahaan hutan kita maka emisi sektor makin mendekati nol. 


Nah, sebenarnya masih ada potensi untuk menjadikannya nol bahkan "sink", yaitu menghitung apa-apa yang nyata mengurangi emisi karbon, tetapi tidak dihitung/dimasukkan menurut aturan akunting karbon UNFCCC yang telah disepakati.


Satu protokol lagi yang penting, bahwa kegiatan-kegiatan kehutanan, seperti penghijauan/reboisasi dan deforestasi sebelum tahun 1990 tidak dihitung dalam perhitungan emisi.


Ambil contoh kegiatan yang bisa menambah serapan emisi di Indonesia:

1. Masyarakat adat yang menjaga hutan adat mereka sebelum tahun 1990 dan hutannya masih ada dan menyerap karbon sampai saat ini (tetapi tidak dihitung, karena dianggap hutan lindung, konstan source- dan sink- CO2 nya);

2. Tanaman Jati di Jawa atau tanaman reboisasi lainnya, katakan yang ditanam tahun 1989, berumur 30 tahun saat ini, kan nyatanya masih menyerap karbon s/d saat ini (tetapi tidk dihitung karena ketentuan "setelah 1990" itu);

3. Tanaman cepat tumbuh dalam pengusahaan HTI, meskipun setiap lima tahunan ditebang, tetapi langsung ditanam kembali, bukankah selama hidupnya menyerap karbon ? (ini juga tidak dikredit sebagai pengurangan emisi, karena periode waktu emisi dalam akuntansi karbon hutan ditentukan lama /lebih dari 5 tahun);

4. Akunting karbon, juga mengabaikan CO2 dalam produk-produk dari hasil kayu, meskipun pohon hutan ditebang tetapi kayunya untuk buat rumah atau furnitur, maka CO2-nya tertahan di tiang rumah kayu, furnitur kayu, seharusnya emisi GRK dikurangi ini dulu baru dapat nett-nya;

5. Meskipun kayu-kayu mati, lapuk dan terdekomposisi dalam tanah, maka CO2 juga diikat dalam tanah tidak semuanya dilepas ke atmosfer (ingat sedimen dibawah hutan mangrove memiliki kandungan CO2 tiga kali lebih besar dari hutan daratan). Untuk ini belum ada cara menghitung yang akurat.
Jika itu semua dapat dihitung dan dimasukkan dalam upaya Indonesia barangkali bisa menjadikan nol. 

Indonesia telah memperjuangkan hal-hal tersebut sehingga lahirlah REDD-plus (+) pada saat COP 13 di Bali. Hanya saja batasan cut-off tahun 1990 dalam akunting karbon dirujuk, sehingga sebagian upaya kita sebelum itu tidak dapat dimasukkan dalam hitungan.

Kesimpulan

1.Hutan tumbuh dengan menyerap CO2, namun ada saatnya mereka akan melepaskan CO2 kembali ke atmosfer;

2.Emisi sektor kehutanan mempertimbangkan selain (alami) hutannya sendiri, juga mempertimbangkan pengelolaan hutannya.



Catatan kaki : [1] UNFCCC , 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Your Ad Spot

Pages