Post Top Ad

Your Ad Spot

Selasa, 01 September 2009

BUKA PUASA DI RUMAH ENGKONG DENGAN MENU RELIGI DAN BIR ALAMI KHAS BETAWI

Setelah kepindahan Engkong dari rumah di kebun tetangga, saya sudah lama tidak bertemu si Engkong. Tetapi di awal bulan Ramadhan ini saya sempat bertandang ke rumah barunya. Pembaca tentu masih ingat, sebenarnya, ini rumah lamanya yang digotong dari kebun tempat tinggal Engkong dulu. Saya amati, kerangka rumah, ruangan berikut perabotannya, masih tidak berubah! Ada tikar pandan yang mengkilat, terkesan tidak mewah, tapi ramah, digelar di ruang tengah.

Ketika Adzan maghrib berkumandang, saatnya berbuka puasa, cepat-cepat Engkong mengajak minum: " Ayo, pak Pao.. dibatalin dulu puasanye, ini minum dulu teh hangat"

"Alhamdulillah, terima kasih, Kong!" sayapun bergeser duduk di tikar dan mengambil teh hangat itu untuk mulai berbuka puasa.

"Kebetulan, nih... anak-anak Engkong lagi pada ngumpul... hari ini kita pingin makan bersama" kata Engkong sambil meletakkan gelas tehnya, lanjutnya: "Udah lama nggak lagi kumpul keluarga sambil makan bersama"

"Oh, ya..rupanya itu anak-anak Engkong..yang rame bercanda di belakang rumah?" saya menanggapinya antusias.

"Iye, ini hari anak-anak bisa ngumpul disini, makan bersama ame mereka itu pan tradisi betawi !" sahut Engkong, lalu, dengan suara agak keras dipanggillah anak-anaknya, " Rogaye, Deden, Suti, ayo kite buka puasa..same-same disini, nih ada tamu, tetangge Ane dulu!"

"Baek, kami kesitu !" sahut mereka.

Saya masih terngiang kata-kata Engkong, "makan bersama keluarga adalah tradisi betawi." Ya..ya..ya, seperti umumnya dijumpai di daerah lain di Indonesia, makan bersama di rumah adalah suatu tradisi lokal yang bisa dibilang suatu kebiasaan, dan ini berlatar kearifan lokal.

Lalu, saya teringat dengan JJ Rizal, sejarawan dan pengamat kuliner dari Komunitas Bambu, yang tulisannya, tentang Tata Krama Keluarga di Indonesia, pernah saya baca:

" pada umumnya akar dari makan bersama dalam masyarakat Indonesia ini mengacu pada konsep feodalisme pada zaman kerajaan.Selanjutnya feodalisme ini bermetaformosis pada zaman kolonial. Terus, merangsek dalam ranah domestik yang umumnya dijumpai di berbagai daerah. Sebagai contoh, anak-anak wajib mengutamakan orang tua atau orang yang dituakan untuk mengambil makan terlebih dahulu "

Bisa jadi, etika makan bersama ini meniru etika makan di lingkungan istana kerajaan. Lebih jauh lagi, kalau merujuk konsep feodalisme kerajaan, biasanya etika feodalisme dikonotasikan membungkam pola pikir demokratis ke setiap anggota keluarga. Eh, malah ditiru oleh masyarakat lokal kita ?

Rupanya, menurut penulis tersebut, bahwa di satu sisi, memang pola pikir demokratis tidak mudah berkembang di alam feodalisme. Namun, di sisi lain tata cara demikian melatih kedisiplinan. Meski tata cara itu tidak fleksibel, masyarakat kita menyakini jika konsep ini merupakan salah satu cara tepat mendidik anak- anak.

Di samping soal etika, kearifan lokal lainnya adalah menyangkut aspek religi. Rizal menjelaskan:
"..di sejumlah daerah makan bersama dengan keluarga dilakukan di atas tikar, seperti di budaya Betawi (- di rumah Engkong ini). Itu menandakan bahwa seseorang harus suci sebelum makan. Contohnya, alas kaki wajib dilepas sebelum duduk dan makan di alas tikar. Itu adalah simbol dari kebersihan. Tanpa disadari, masyarakat Betawi sudah memperhatikan aspek higienitas."

Tidak seberapa lama, anak-anak Engkongpun sudah tiba dan mereka segera duduk di tikar pandan kami. Deden, anak laki-laki Engkong satu-satunya, dengan santainya menyilangkan kaki tatkala duduk bersila.

Saya agak kaget, tetapi hanya sebentar, karena terlintas di pikiran bahwa tentu saja tidak serta merta etiket atau sopan-santun feodalisme di serap oleh budaya Betawi. Karena saya orang Jawa, maka tahu jika cara duduk Deden yang demikian itu, apalagi di hadapan orang tua dan tamu, bisa dianggap tidak sopan! Wah, inilah keluarga betawi dengan etiket makan yang telah berkembang sesuai dengan perubahan zaman.

"Kenapa bengong, pak Pao ?" sergah Engkong " Ayo dicicipi kue buaya ini dan kue-kue ini.. ada kue Satu, Akar Kelapa, dan Sagon Sembur ! Nyang ini, Pepes Ikan dan Pepes Ayam, dibungkusnye pake daun pisang biar awet panasnye dan sehat" tutur Engkong dengan semangat.

" Hebat, Kong! banyak kue nih Engkong!" tukas saya, dan lagi-lagi masuk di otak saya, bahwa orang betawi ini sudah berpikir soal kesehatan, yaitu mengunakan bahan-bahan alami dalam mengemas atau mengolah makanan. Lantaran kemasannya alami, makanan seperti demikian tidak mengandung bahan kimia, seperti halnya makanan yang dibungkus plastik atau styrofoam, memang betul kata Engkong, bahwa makanan ini sehat!

" Ah, biase aje!, kami orang betawi kalau bulan Puasa pasti bikin kue Satu. Kue Satu di Betawi, kate orang dulu, menjadikan kita nyang berpuasa mendapat kesempurnaan,"
lalu ajak Engkong: " Ayo, sekarang kita shalat Mahrib bareng, terus makan dan kalau udah kelar makan ntar kita minum bir sama-sama!"

" Egh, baiklah, tapi..., minum bir, Kong ?" tanya saya bermaksud konfirmasi ajakan Engkong.

"He..he.he, ini pan bukan bir pake alkohol itu" jawab Engkong sambil tangannya memegang botol keramik isi bir, " Ini namanya bir Pletok, bir asli betawi..beda dengan bir alkohol itu. Bir ini dibuat Rogaye ama si Suti dari rempah-rempah seperti jahe, daun salam, daun sereh, dan kapulaga,ditambah gula pasir"

" Wah, Kong..kalo gitu bir ini malah alami dan menyehatkan!"

"Iyalah..!" sahut Engkong dan anak-anaknya serentak.

Lagi-lagi santapan keluarga Betawi ini mencerminkan simbol kebudayaan, religi dan kesehatan! Ini paten dan asli budaya tradisional Betawi! Tentu saja perlu dipatenkan, biar orang lain tidak meng-klaim-nya!

Related Posts:
1. Gotong-Gotong Rumah Si Engkong!
2.My favorite of Indonesia Food Recipe : Gado-Gado Vegan
3.Tanaman Obat Yang Bikin Engkong Hebat!
4.Engkong, Ini Kantong Plastik Dari Singkong!

Sources:
JJ Rizal. Tata Krama Keluarga Indonesia. Jakarta: Rona download: 31 August, 2009, 22:34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Your Ad Spot

Pages