Post Top Ad

Your Ad Spot

Sabtu, 06 Juni 2009

Sisi Lain Perubahan Iklim: Adaptasi oleh Para Petani (#2)

Para petani di Indonesia akan terkena dampak perubahan iklim lebih berat di masa datang, jika tidak berupaya lebih banyak dan lebih keras lagi beradaptasi dengan kondisi iklim yang makin buruk. Di Jawa, mereka mungkin telah mengalami gagal panen kali kedua karena perubahan iklim sehingga wajar jika mereka mulai mempertimbangkan berbagai jenis tanaman yang mampu beradaptasi secara alamiah.

Varietas padi hasil persilangan (breeding) yang berbunga pada waktu dini hari, misalnya, akan berpeluang menghasilkan bulir-bulir padi karena terhindar dari suhu yang lebih panas di siang hari. Mereka juga perlu diperkenalkan dengan varietas padi yang lebih mampu bertahan terhadap kondisi yang ekstrem - kemarau panjang, genangan air dan intrusi air laut. Budidaya padi yang terakhir ini banyak dijumpai di sepanjang jalur pantai selatan Jawa Tengah, antara kota Yogyakarta - Kebumen, dan telah memberikan hasil yang cukup berarti bagi suatu upaya adaptasi para petani.

Selain dari sisi jenis tanaman pangan, para petani diharapkan terus mengupayakan cara-cara meningkatkan kesuburan tanah dengan bahan-bahan organik, dengan menggunakan lebih banyak pupuk alamiah. Bahan-bahan organik dikenal meningkatkan kemampuan tanah untuk menahan air. Pupuk kandang yang biasa dipakai para petani menjadikan struktur tanah lebih baik, kuat dan lebih tahan terhadap kekeringan [1]. Salah satu keuntungan bertani organik adalah cara ini tidak terlalu bergantung pada air seperti cara-cara nonorganik yang lebih banyak membutuhkan air.

Menarik untuk dituliskan kembali pengalaman seorang petani di Subang, Jawa Barat tentang pertanian organik, dalam Laporan UNDP Indonesia, 2007. Boks 7,halaman 14 [2], berikut ini.


Pertanian organik – lebih mudah, murah, dan tangguh terhadap kesulitan air

”Semua orang, termasuk istri saya menentang ketika saya memutuskan untuk bertani organik.Namun,nyatanya setelah 18 musim panen,praktik ini jauh lebih unggul.Saya tidak harus terlalu mencemaskan mengenai kekurangan air atau kenaikan harga pestisida dan pupuk kimia” (Ade Saeful Komar,Desa Sukahaji Kecamatan Ciasem, Kabupaten Subang)".

Ade memulai bertani organik sejak 1998 setelah berdiskusi dengan pendamping lapangan petani dari yayasan Nastari.Istrinya yang sangat tidak yakin, risau cara baru itu akan mengurangi hasil tani mereka. Istrinya benar – panen mereka menurun dari semula 6 ton menjadi hanya 4 ton saja. Namun, Ade bersikukuh untuk melanjutkan dengan terus belajar,dan setelah empat musim panen, hasil taninya kembali ke normal. “Saya membuat kekeliruan di awal, saya tidak memproses kotoran sapi dengan mengkomposnya. Setelah saya melakukannya, hasil sawah saya menjadi makin baik dan makin baik.”

Ade juga membuat sendiri pestisida alamiahnya. Dia mencampur daun nimbung/mindi dengan bawang putih dan menghaluskannya dengan blender. Atau kadang-kadang dia menggunakan brotowali, dicampur dengan daun sirsak dan daun jaringan. “Murah. Mudah. Saya hanya perlu membeli setengah kilo bawang putih seharga Rp 4.000,”katanya. Dia juga mempraktikkan legowo, yaitu merenggangkan jarak tanam antara rumpun batang padi satu dan yang lainnya untuk membiarkan sinar matahari masuk menembus ke akar-akar padi karena serangga tidak menyukai sinar matahari. Hasilnya, sawahnya lebih aman dari serangan hama ketimbang sebelumnya.

Sukses Ade ini belum memberikan inspirasi bagi petani sebelah menyebelah sawahnya untuk menerapkan praktik serupa. Sudah begitu terbiasanya para petani ini dengan pupuk kimia dan pestisida sehingga mereka tidak meyakini metode lain. Bagaimanapun, ada beberapa petani kenalan Ade yang sudah mulai menggunakan lebih sedikit pestisida dan pupuk kimia."


Para petani mungkin akan lebih tangguh menghadapi perubahan iklim bila mereka memiliki perkiraan cuaca yang akurat dan tahu bagaimana harus merespon perubahan itu [2]. Informasi dari Badan Meteorologi dan Geofisika makin mudah diperoleh para petani khusunya yang berada di Jawa. Penyuluh Lapangan Pertanian di Kecamatan di luar Jawa telah mengumpulkan data curah hujan dari stasiun pengamat curah hujan di kantornya. Suatu prakiraan cuaca dapat dibuat dan diinformasikan kepada mereka. Terlebih jika para petani ini diajarkan cara menginterpretasikan informasi cuaca ini ke dalam bahasa mereka agar mudah dimengerti dan menjadikan mereka lebih mudah melakukan adaptasi.

Selanjutnya, jika mereka tahu tahun itu akan menjadi tahun kemarau, maka mereka dapat:
- mengetahui kapan dapat menampung dan menyimpan air serta kapan menggunakannya,
- mengganti tanaman pangan dengan palawija atau yang lebih tinggi nilai jualnya
- melakukan penyesuaian antara menanam tanaman pangan dan memelihara ternak
- bekerja di bidang non-tani, mungkin dengan bermigrasi sementara ke daerah lain atau ke kota lain.

Jika para petani memiliki akses ke informasi dan sarana yang tepat mereka akan dapat melakukan sendiri adaptasi yang dibutuhkan.

Sumber:
[1] W.T. Rinsema.Ir, 1983. Pupuk dan Cara Pemupukan. Jakarta,Bhratara Karya Aksara.
[2] UNDP Indonesia, 2007. Sisi lain perubahan iklim: Mengapa Indonesia harus beradaptasi untuk melindungi rakyat miskinnya

Related Post:
Sisi Lain Perubahan Iklim: Beradaptasi Diatas Kearifan Tradisional (#1)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Your Ad Spot

Pages