Sampai dengan tahun 2025, dengan makin menipisnya cadangan minyak bumi di Indonesia, maka batubara telah diproyeksikan sebagai sumber energi utama pengganti minyak bumi. Jika kita menengok kembali kebijakan energi pemerintah dalam "Energi Mix 2025" maka terdapat didalamnya kontribusi batubara yang dicairkan sebesar 2 %.
Agar batubara dapat diubah menjadi bahan bakar gas dan cair, maka harus dilakukan proses gasifikasi dan pencairan batubara (coal liquefaction). Lalu, apa itu pencairan batubara? Jawaban yang sederhana, yaitu: produksi bahan bakar sintetis berbahan baku batubara, umumnya dari jenis batubara yang berkualitas rendah.
Adapun proses pencairan (liquefaction) ini dibedakan antara proses yang indirect coal liquefaction (tidak langsung) dan direct coal liquefaction (langsung). Saya tidak akan membahas bagaimana proses-proses pembuatan batubara cair, tetapi akan lebih memperkenalkan batubara cair secara singkat, meliputi teknologi, keuntungan dan kekurangan serta prospeknya.
Teknologi Yang Ada
Pembuatan bahan bakar sintesis berbasis batubara telah berkembang pesat, sejak pertama kali dilakukan di Jerman tahun 1900-an dengan menggunakan proses sintesis Fischer-Tropsch yang dikembangkan Franz Fisher dan Hans Tropsch. Pada 1930, disamping menggunakan metode proses sintesis Fischer-Tropsch, proses Bergius mulai dikembangkan pula untuk memproduksi bahan bakar sintetis.
Selanjutnya, Jepang dengan NEDO (the New Energy Development Organization) mengembangan teknologi pencairan batubara kualitas rendah. Hal ini mempertimbangkan hasil identifikasi para peneliti NEDO, bahwa cadangan batubara di dunia pada umumnya tidak berkualitas baik, bahkan setengahnya merupakan batubara dengan kualitas rendah atau berkalori rendah (low rank coal), yakni kurang dari 5.100 kalori, seperti: sub-bituminous coal dan brown coal. Kedua jenis batubara tersebut dikenal lebih banyak mengandung air.
Proses pencairan batubara yang dikembangkan mereka diberi nama Brown Coal Liquefaction Technology (BCL). Teknologi Jepang ini mengubah kualitas batubara yang rendah menjadi produk yang berguna secara ekonomis dan dapat menghasilkan bahan bakar berkualitas serta ramah lingkungan. Batubara telah dikonversi menjadi energi bernilai tambah tinggi dengan BCL!
Pada prinsipnya, proses pencairan batubara melalui beberapa langkah [1]:
Keuntungan:
Kekurangan:
Prospek Batubara Yang Dicairkan
Potensi Batubara di Indonesia, diperkirakan baru akan habis setelah 75 tahun, dengan sumber daya tersedia: 104,7 miliar ton. Cadangan yang ada: 18,7 miliar ton. Sedangkan produksi baru mencapai: 250 juta ton pada 2008 [2].
Batubara cair (Coal To Liquids/CTL) merupakan energi alternatif yang dapat dipakai sebagai substitusi Bahan Bakar Minyak (BBM), apalagi dengan harga minyak bumi - pada saat artikel ini ditulis - sedang berada di harga $82.14 dollar AS.
Produk utama FT diesel memiliki kualitas yang lebih tinggi dibanding diesel berbasis minyak bumi. Maka, bahan bakar cair sintetis berpeluang meningkatkan kualitas BBM melalui "blending". Salah satu tolok ukurnya adalah kandungan sulfur dalam diesel. Untuk yang terakhir ini Indonesia tertinggal dalam regulasi kualitas BBM di kawasan Asia Tenggara, khususnya tentang kandungan sulfur yang diijinkan dalam BBM Diesel, contohnya, Thailand dan Singapura telah mematok tidak lebih dari 500 ppm, namun Indonesia mengijinkan hingga: 3.000 ppm [3]
Walaupun investasi awal kilang batubara cair (CTL) lebih mahal dibanding kilang minyak bumi dan biodiesel, sebaliknya harga bahan bakunya relatif lebih murah sehingga konversi ke BBM berbasis batubara sangat sesuai untuk pemanfaatan cadangan batu bara muda (lignite), yang kurang laku di pasaran. Terlebih mengingat potensi lignite di Indonesia besar yaitu sekitar 23 miliar ton (60 persen cadangan nasional) atau setara 37 miliar barel bahan bakar cair sintetis.
Tentu saja, kita patut berharap bahwa Indonesia tidak hanya bisa menjual atau mengekspor energi primer saja, seperti gas alam dan batubara. Tetapi juga mampu mewujudkan konversi energi yang bernilai tambah tinggi, sekaligus dapat mengurangi ketergantungan impor BBM, diversifikasi energi dan menjamin ketahanan pasokan energi.
Dan, yang lebih penting lagi, apapun produknya hendaknya tetap diarahkan kepada energi terbarukan sekaligus ramah lingkungan!
Referensi
[1]. Jauhary, Muhamad, 2007. Potensi Industri Pengolahan Batubara Cair, Economic Review, No. 208. Juni 2007
[2]. Daulay Bukin, Dr, 2009. Program dan Implementasi Gasifikasi Batubara dan Pencairan Batubara di Indonesia. Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara “tekMIRA” Badan Litbang Energi dan Sumber Daya Mineral Departemen ESDM.
[3]. Purwanto, Widodo W, 2006. Saatnya Gunakan Bahan Bakar Cair
Related Posts:
1. Biofuel: Produksi Biofuel Nasional Merosot Karena Harga CPO Dunia Melonjak (#9)
2. Energi Panas Bumi: Besar Potensinya, Terbatas Pemanfaatannya! (#8)
3. Energi Air: Listrik Mikro Hidro Untuk Mengusir Kegelapan Pedesaan (#7)
4. Energi Surya: Keuntungan-, Kerugian-, dan Potensi-nya di Indonesia (#6)
5. Energi Angin: Akankah Ladang Angin Menjulang di Indonesia ? (#5)
6. Biomassa: Baru Dimanfaatkan 0.64% dari Potensinya di Indonesia (#4)
7.Energi Terbarukan: Mampukah Menyumbang 17% dari Bauran Energi Indonesia Pada 2025? (#3)
8.Energi Nuklir: 437 Reaktor Nuklir Telah Dibangun Sampai 2009 (#2)
9.Gas Alam untuk Mengurangi Emisi CO2 dan Menghemat Energi (#1)
10.Emisi CO2 dan Pengurangannya Di Masa Datang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar